Jumat, 21 Maret 2014
Mulai dari pola pikir, tanggungjawab, hingga menu pilihan hidup yang disediakan. Namun jika dilihat sekilas, perbedaan keduanya tidaklah seperti langit dan bumi. Siswa tawuran, sang maha (siswa) pun melakukan hal yang sama. Juga membolos, menyontek, tidur dalam kelas.. bahkan saat usai berpendidikan (baca: lulus) pun melamar di tempat dan untuk posisi yang sama.
“Mbak ngelamar juga ya?” ucap pria rapi berdasi
“Iya Mas, sama ya. Mudah-mudah staf keuangan menjadi rezeki dari Tuhan”
“Amien, lulusan mana Mbak?”
“SMA; sudah hampir 3 tahun jadi staf keuangan di PT. X sekarang mau cari suasana baru. Kalau Mas?” tegas sang wanita.
(Sambil senyum memaksa) “Saya lulusan sarjana pertanian, hampir setahun ini luntang lantung cari pekerjaan, ya apapun dicoba sajalah,” ucapnya lesu.
Dengan berat hati harus dikatakan, seakan sama saja secara gambaran besar, tidak ada stratifikasi pendidikan formal. Lalu pertanyaan "mengapa" dan "kenapa" selalu hadir di benak; merasa dunia tidak adil, Tuhan tak berpihak, dan kesialan menyertai sepanjang hidup. Tanpa disadari terkadang pertanyaan "kenapa" selalu membuat lelah dan membuat tidak produktif. Otomatis pikiran dan tubuh terfokus pada satu titik yakni pencarian kebenaran “sesuai” kenyamanan.
Stop berpikir tidak seru! Jelas saja kehidupan seakan berhenti tanpa tantangan. Apalagi yang akan diperjuangkan, bila kita terus berdiam diri dan menghindari tembok besar yang harus dihadapi. Kembali dengan status baru sebagai mahasiswa, tidak ada waktu maksimal untuk menjadi mahasiswa. Hanya saja ada tiga tahapan untuk khatam menjadi mahasiswa. Walau tidak wajib, di Indonesia cukup banyak yang memilih jalani tahapan ini dengan berbagai niat dan tujuan, S1-S2-S3.
Bagaimanapun dan apapun yang dipilih, harus diingat semua tidak ada jaminan berdampak mulus sesukses pemain bola membobol gawang lawan di menit terakhir dengan euforia kemenangan. Tuhan pun telah berjanji untuk meninggikan orang yang berilmu toh? Salah satunya jalur pendidikan adalah hal yang sesuai dengan titah Tuhan. Namun, saat ini sang maha-siswa yang sedang/akan/telah berpendidikan apakah mutlak jalurnya sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan? Belum tentu.
Iqra’ yang dalam bahasa Arab berarti bacalah, juga menjadi perintah pertama Rasululloh yang buta huruf untuk belajar Al-quran. Bukan hanya membaca apa yang tersurat, namun juga apa yang tersirat. Setiap manusia yang dapat membaca gambaran besar dari kehidupan, lalu mengurainya secara sistematis sesuai dengan apa yang dibaca dalam perkuliahan, dan praktik atas dasar realita dengan teori yang dibacanya.
Apabila mahasiswa sudah berada di titik ini, sekiranya apakah akan sama pola pikirnya dengan yang lain pada umumnya? Yes, we can!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar